Dengan langkah ragu-ragu aku mendekati ruang dosen di mana Pak Hr berada.
“Winda…”, sebuah suara memanggil.
“Hei Ratna!”.
“Ngapain kau cari-cari dosen killer itu?”, Ratna itu bertanya heran.
“Tau nih, aku mau minta ujian susulan, sudah dua kali aku minta diundur terus, kenapa ya?”.
“Idih jahat banget!”.
“Makanya, aku takut nanti di raport merah, mata kuliah dia kan penting!, tauk nih, bentar ya aku masuk dulu!”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna berlalu.
“Winda…”, sebuah suara memanggil.
“Hei Ratna!”.
“Ngapain kau cari-cari dosen killer itu?”, Ratna itu bertanya heran.
“Tau nih, aku mau minta ujian susulan, sudah dua kali aku minta diundur terus, kenapa ya?”.
“Idih jahat banget!”.
“Makanya, aku takut nanti di raport merah, mata kuliah dia kan penting!, tauk nih, bentar ya aku masuk dulu!”.
“He-eh deh, sampai nanti!” Ratna berlalu.
Dengan memberanikan diri aku mengetuk pintu.
“Masuk…!”, Sebuah suara yang amat ditakutinya menyilakannya masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang, kamu siapa?”, tanyanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
“Saya Winda…!”.
“Aku..? Oh, yang mau minta ujian lagi itu ya?”.
“Iya benar pak.”
“Saya tidak ada waktu, nanti hari Mminggu saja kamu datang ke rumah saya, ini kartu nama saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan kartu namanya.
“Ada lagi?” tanya dosen itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.
“Masuk…!”, Sebuah suara yang amat ditakutinya menyilakannya masuk.
“Selamat siang pak!”.
“Selamat siang, kamu siapa?”, tanyanya tanpa meninggalkan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
“Saya Winda…!”.
“Aku..? Oh, yang mau minta ujian lagi itu ya?”.
“Iya benar pak.”
“Saya tidak ada waktu, nanti hari Mminggu saja kamu datang ke rumah saya, ini kartu nama saya”, Katanya acuh tak acuh sambil menyerahkan kartu namanya.
“Ada lagi?” tanya dosen itu.
“Tidak pak, selamat siang!”
“Selamat siang!”.
Dengan lemas aku beranjak keluar
dari ruangan itu. Kesal sekali rasanya, sudah belajar sampai larut
malam, sampai di sini harus kembali lagi hari Minggu, huh!
Mungkin hanya akulah yang hari Minggu masih berjalan sambil membawa tas hendak kuliah. Hari ini aku harus memenuhi ujian susulan di rumah Pak Hr, dosen berengsek itu.
Mungkin hanya akulah yang hari Minggu masih berjalan sambil membawa tas hendak kuliah. Hari ini aku harus memenuhi ujian susulan di rumah Pak Hr, dosen berengsek itu.
Rumah Pak Hr terletak di sebuah
perumahan elite, di atas sebuah bukit, agak jauh dari rumah-rumah
lainnya. Belum sempat memijit Bel pintu sudah terbuka, Seraut wajah yang
sudah mulai tua tetapi tetap segar muncul.
“Ehh…! Winda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Hr sendiri.
“Permisi pak! Ibu mana?”, tanyaku berbasa-basi.
“Ibu sedang pergi dengan anak-anak ke rumah neneknya!”, sahut pak Hr ramah.
“Sebentar ya…”, katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan.
Tumben tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, dosen ini terkenal paling killer.
“Ehh…! Winda, ayo masuk!”, sapa orang itu yang tak lain adalah pak Hr sendiri.
“Permisi pak! Ibu mana?”, tanyaku berbasa-basi.
“Ibu sedang pergi dengan anak-anak ke rumah neneknya!”, sahut pak Hr ramah.
“Sebentar ya…”, katanya lagi sambil masuk ke dalam ruangan.
Tumben tidak sepeti biasanya ketika mengajar di kelas, dosen ini terkenal paling killer.
Rumah Pak Hr tertata rapi.
Dinding ruang tamunya bercat putih. Di sudut ruangan terdapat
seperangkat lemari kaca temapat tersimpan berbagai barang hiasan
porselin. Di tengahnya ada hamparan permadani berbulu, dan kursi sofa
kelas satu.
“Gimana sudah siap?”, tanya pak Hr mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak!”
“Sebenarnya…, sebenarnya Winda tidak perlu mengikuti ulang susulan kalau…, kalau…!”
“Kalau apa pak?”, aku bertanya tak mengerti. Belum habis bicaranya, Pak Hr sudah menuburuk tubuhku.
“Pak…, apa-apaan ini?”, tanyaku kaget sambil meronta mencoba melepaskan diri.
“Jangan berpura-pura Winda sayang, aku membutuhkannya dan kau membutuhkan nilai bukan, kau akan kululuskan asalkan mau melayani aku!”, sahut lelaki itu sambil berusaha menciumi bibirku.
“Gimana sudah siap?”, tanya pak Hr mengejutkan aku dari lamunannya.
“Eh sudah pak!”
“Sebenarnya…, sebenarnya Winda tidak perlu mengikuti ulang susulan kalau…, kalau…!”
“Kalau apa pak?”, aku bertanya tak mengerti. Belum habis bicaranya, Pak Hr sudah menuburuk tubuhku.
“Pak…, apa-apaan ini?”, tanyaku kaget sambil meronta mencoba melepaskan diri.
“Jangan berpura-pura Winda sayang, aku membutuhkannya dan kau membutuhkan nilai bukan, kau akan kululuskan asalkan mau melayani aku!”, sahut lelaki itu sambil berusaha menciumi bibirku.
Serentak Bulu kudukku berdiri.
Geli, jijik…, namun detah dari mana asalnya perasaan hasrat
menggebu-gebu juga kembali menyerangku. Ingin rasanya membiarkan lelaki
tua ini berlaku semaunya atas diriku. Harus kuakui memang, walaupun dia
lebih pantas jadi bapakku, namun sebenarnya lelaki tua ini sering
membuatku berdebar-debar juga kalau sedang mengajar. Tapi aku tetap
berusaha meronta-ronta, untuk menaikkan harga diriku di mata Pak Hr.
“Lepaskan…, Pak jangan hhmmpppff…!”, kata-kataku tidak terselesaikan karena terburu bibirku tersumbat mulut pak Hr.
“Lepaskan…, Pak jangan hhmmpppff…!”, kata-kataku tidak terselesaikan karena terburu bibirku tersumbat mulut pak Hr.
Aku meronta dan berhasil
melepaskan diri. Aku bangkit dan berlari menghindar. Namun entah mengapa
aku justru berlari masuk ke sebuah kamar tidur. Kurapatkan tubuhku di
sudut ruangan sambil mengatur kembali nafasku yang terengah-engah, entah
mengapa birahiku sedemikian cepat naik. Seluruh wajahku terasa panas,
kedua kakikupun terasa gemetar.
Pak Hr seperti diberi kesempatan
emas. Ia berjalan memasuki kamar dan mengunci pintunya. Lalu dengan
perlahan ia mendekatiku. Tubuhku bergetar hebat manakala lelaki tua itu
mengulurkan tangannya untuk merengkuh diriku. Dengan sekali tarik aku
jatuh ke pelukan Pak Hr, bibirku segera tersumbat bibir laki-laki tua
itu. Terasa lidahnya yang kasap bermain menyapu telak di dalam mulutku.
Perasaanku bercampur aduk jadi satu, benci, jijik bercampur dengan rasa
ingin dicumbui yang semakin kuat hingga akhirnya akupun merasa sudah
kepalang basah, hati kecilku juga menginginkannya. Terbayang olehku
saat-saat aku dicumbui seperti itu oleh Aldy, entah sedang di mana dia
sekarang. aku tidak menolak lagi. bahkan kini malah membalas dengan
hangat.
Merasa mendapat angin kini
tangan Pak Hr bahkan makin berani menelusup di balik blouse yang aku
pakai, tidak berhenti di situ, terus menelup ke balik beha yang aku
pakai.
Jantungku berdegup kencang
ketika tangan laki-laki itu meremas-remas gundukan daging kenyal yang
ada di dadaku dengan gemas. Terasa benar, telapak tangannya yang kasap
di permukaan buah dadaku, ditingkahi dengan jari-jarinya yang nakal
mepermainkan puting susuku. Gemas sekali nampaknya dia. Tangannya makin
lama makin kasar bergerak di dadaku ke kanan dan ke kiri.
Setelah puas, dengan tidak
sabaran tangannya mulai melucuti pakaian yang aku pakai satu demi satu
hingga berceceran di lantai. Hingga akhirnya aku hanya memakai secarik
G-string saja. Bergegas pula Pak Hr melucuti kaos oblong dan sarungnya.
Di baliknya menyembul batang penis laki-laki itu yang telah menegang,
sebesar lengan Bayi.
Tak terasa aku menjerit ngeri,
aku belum pernah melihat alat vital lelaki sebesar itu. Aku sedikit
ngeri. Bisa jebol milikku dimasuki benda itu. Namun aku tak dapat
menyembunyikan kekagumanku. Seolah ada pesona tersendiri hingga
pandangan mataku terus tertuju ke benda itu. Pak Hr berjalan
mendekatiku, tangannya meraih kunciran rambutku dan menariknya hingga
ikatannya lepas dan rambutku bebas tergerai sampai ke punggung.
“Kau Cantik sekali Winda…”, gumam pak Hr mengagumi kecantikanku.
Aku hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian itu.
“Kau Cantik sekali Winda…”, gumam pak Hr mengagumi kecantikanku.
Aku hanya tersenyum tersipu-sipu mendengar pujian itu.
Dengan lembut Pak Hr mendorong
tubuhku sampai terduduk di pinggir kasur. Lalu ia menarik G-string, kain
terakhir yang menutupi tubuhku dan dibuangnya ke lantai. Kini kami
berdua telah telanjang bulat. Tanpa melepaskan kedua belah kakiku,
bahkan dengan gemas ia mementangkan kedua belah pahaku lebar-lebar.
Matanya benar-benar nanar memandang daerah di sekitar selangkanganku.
Nafas laki-laki itu demikian memburu.
Tak lama kemudian Pak
membenamkan kepalanya di situ. Mulut dan lidahnya menjilat-jilat penuh
nafsu di sekitar kemaluanku yang tertutup rambut lebat itu. Aku
memejamkan mata, oohh, indahnya, aku sungguh menikmatinya, sampai-sampai
tubuhku dibuat menggelinjang-gelinjang kegelian.
“Pak…!”, rintihku memelas.
“Pak…, aku tak tahan lagi…!”, aku memelas sambil menggigit bibir. Sungguh aku tak tahan lagi mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan Pak Hr. Namun rupanya lelaki tua itu tidak peduli, bahkan senang melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan tangannya yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak menyudahi perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat basah kuyup.
“Pak…!”, rintihku memelas.
“Pak…, aku tak tahan lagi…!”, aku memelas sambil menggigit bibir. Sungguh aku tak tahan lagi mengalamai siksaan birahi yang dilancarkan Pak Hr. Namun rupanya lelaki tua itu tidak peduli, bahkan senang melihat aku dalam keadaan demikian. Ini terlihat dari gerakan tangannya yang kini bahkan terjulur ke atas meremas-remas payudaraku, tetapi tidak menyudahi perbuatannya. Padahal aku sudah kewalahan dan telah sangat basah kuyup.
“Paakk…, aakkhh…!”, aku
mengerang keras, kakinya menjepit kepala Pak Hr melampiaskan derita
birahiku, kujambak rambut Pak Hr keras-keras. Kini aku tak peduli lagi
bahwa lelaki itu adalah dosen yang aku hormati. Sungguh lihai laki-laki
ini membangkitkan gairahku. aku yakin dengan nafsunya yang sebesar itu
dia tentu sangat berpengalaman dalam hal ini, bahkan sangat mungkin
sudah puluhan atau ratusan mahasiswi yang sudah digaulinya. Tapi apa
peduliku?
Tiba-tiba Pak Hr melepaskan
diri, lalu ia berdiri di depanku yang masih terduduk di tepi ranjang
dengan bagian bawah perutnya persis berada di depan wajahku. aku sudah
tahu apa yang dia mau, namun tanpa sempat melakukannya sendiri,
tangannya telah meraih kepalaku untuk dibawa mendekati kejantanannya
yang aduh mak.., Sungguh besar itu.
Tanpa melawan sama sekali aku
membuka mulut selebar-lebarnya, Lalu kukulum sekalian alat vital Pak Hr
ke dalam mulutku hingga membuat lelaki itu melek merem keenakan. Benda
itu hanya masuk bagian kepala dan sedikit batangnya saja ke dalam
mulutku. Itupun sudah terasa penuh. Aku hampir sesak nafas dibuatnya.
Aku pun bekerja keras, menghisap, mengulum serta mempermainkan batang
itu keluar masuk ke dalam mulutku. Terasa benar kepala itu bergetar
hebat setiap kali lidahku menyapu kepalanya.
Beberapa saat kemudian Pak Hr
melepaskan diri, ia membaringkan aku di tempat tidur dan menyusul
berbaring di sisiku, kaki kiriku diangkat disilangkan di pinggangnya.
Lalu Ia berusaha memasuki tubuhku belakang. Ketika itu pula kepala penis
Pak Hr yang besar itu menggesek clitoris di liang senggamaku hingga aku
merintih kenikmatan. Ia terus berusaha menekankan miliknya ke dalam
milikku yang memang sudah sangat basah. Pelahan-lahan benda itu meluncur
masuk ke dalam milikku.
Dan ketika dengan kasar dia
tiba-tiba menekankan miliknya seluruhnya amblas ke dalam diriku aku tak
kuasa menahan diri untuk tidak memekik. Perasaan luar biasa bercampur
sedikit pedih menguasai diriku, hingga badanku mengejang beberapa detik.
Pak Hr cukup mengerti keadaan
diriku, ketika dia selesai masuk seluruhnya dia memberi kesempatan
padaku untuk menguasai diri beberapa saat. Sebelum kemudian dia mulai
menggoyangkan pinggulnya pelan-pelan kemudian makin lama makin cepat.
Aku sungguh tak kuasa untuk
tidak merintih setiap Pak Hr menggerakkan tubuhnya, gesekan demi gesekan
di dinding dalam liang senggamaku sungguh membuatku lupa ingatan. Pak
Hr menyetubuhi aku dengan cara itu. Sementara bibirnya tak hentinya
melumat bibir, tengkuk dan leherku, tangannya selalu meremas-remas
payudaraku. Aku dapat merasakan puting susuku mulai mengeras, runcing
dan kaku.
Aku bisa melihat bagaimana
batang penis lelaki itu keluar masuk ke dalam liang kemaluanku. Aku
selalu menahan nafas ketika benda itu menusuk ke dalam. Milikku hampir
tidak dapat menampung ukuran Pak Hr yang super itu, dan ini makin
membuat Pak Hr tergila-gila.
Tidak sampai di situ, beberapa
menit kemudian Pak Hr membalik tubuhku hingga menungging di hadapannya.
Ia ingin pakai doggy style rupanya. Tangan lelaki itu kini lebih leluasa
meremas-remas kedua belah payudara aku yang kini menggantung berat ke
bawah. Sebagai seorang wanita aku memiliki daya tahan alami dalam
bersetubuh. Tapi bahkan kini aku kewalahan menghadapi Pak Hr. Laki-laki
itu benar-benar luar biasa tenaganya. Sudah hampir setengah jam ia
bertahan. Aku yang kini duduk mengangkangi tubuhnya hampir kehabisan
nafas.
Kupacu terus goyangan pinggulku,
karena aku merasa sebentar lagi aku akan memperolehnya. Terus…, terus…,
aku tak peduli lagi dengan gerakanku yang brutal ataupun suaraku yang
kadang-kadang memekik menahan rasa luar biasa itu. Dan ketika klimaks
itu sampai, aku tak peduli lagi…, aku memekik keras sambil menjambak
rambutnya. Dunia serasa berputar. Sekujur tubuhku mengejang. Sungguh
hebat rasa yang kurasakan kali ini. Sungguh ironi memang, aku
mendapatkan kenikmatan seperti ini bukan dengan orang yang aku sukai.
Tapi masa bodohlah.
Berkali-kali kuusap keringat
yang membasahi dahiku. Pak Hr kemudian kembali mengambil inisiatif. kini
gantian Pak Hr yang menindihi tubuhku. Ia memacu keras untuk mencapai
klimaks. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar, sementara
goyangan pinggulnya pun semakin cepat dan kasar. Peluhnya sudah penuh
membasahi sekujur tubuhnya dan tubuhku. Sementara kami terus berpacu.
Sungguh hebat laki-laki ini. Walaupun sudah berumur tapi masih bertahan
segitu lama. Bahkan mengalahkan semua cowok-cowok yang pernah tidur
denganku, walaupun mereka rata-rata sebaya denganku.
Namun beberapa saat kemudian,
Pak Hr mulai menggeram sambil mengeretakkan giginya. Tubuh lelaki tua
itu bergetar hebat di atas tubuhku. Penisnya menyemburkan cairan kental
yang hangat ke dalam liang kemaluanku dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian,
perlahan-lahan kami memisahkan diri. Kami terbaring kelelahan di atas
kasur itu. Nafasku yang tinggal satu-satu bercampur dengan bunyi
nafasnya yang berat. Kami masing-masing terdiam mengumpulkan tenaga kami
yang sudah tercerai berai.
Aku sendiri terpejam sambil
mencoba merasakan kenikmatan yang baru saja aku alami di sekujur tubuhku
ini. Terasa benar ada cairan kental yang hangat perlahan-lahan meluncur
masuk ke dalam liang vaginaku. Hangat dan sedikit gatal menggelitik.
Bagian bawah tubuhku itu terasa
benar-benar banjir, basah kuyub. Aku menggerakkan tanganku untuk menyeka
bibir bawahku itu dan tanganku pun langsung dipenuhi dengan cairan
kental berwarna putih susu yang berlepotan di sana.
“Bukan main Winda, ternyata kau
pun seperti kuda liar!” kata Pak Hr penuh kepuasan. Aku yang berbaring
menelungkup di atas kasur hanya tersenyum lemah. aku sungguh sangat
kelelahan, kupejamkan mataku untuk sejenak beristirahat. Persetan dengan
tubuhku yang masih telanjang bulat.
Pak Hr kemudian bangkit berdiri,
ia menyulut sebatang rokok. Lalu lelaki tua itu mulai mengenakan
kembali pakaiannya. Aku pun dengan malas bangkit dan mengumpulkan
pakaiannya yang berserakan di lantai.
Sambil berpakaian ia bertanya, “Bagaimana dengan ujian saya pak?”.
“Minggu depan kamu dapat mengambil hasilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak besok pagi saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini aku minta agar kau tidak tidur dengan lelaki lain kecuali aku!”, jawab Pak Hr.
Sambil berpakaian ia bertanya, “Bagaimana dengan ujian saya pak?”.
“Minggu depan kamu dapat mengambil hasilnya”, sahut laki-laki itu pendek.
“Kenapa tidak besok pagi saja?”, protes aku tak puas.
“Aku masih ingin bertemu kamu, selama seminggu ini aku minta agar kau tidak tidur dengan lelaki lain kecuali aku!”, jawab Pak Hr.
Aku sedikit terkejut dengan
jawabannya itu. Tapi akupun segera dapat menguasai keadaanku. Rupanya
dia belum puas dengan pelayanan habis-habisanku barusan.
“Aku tidak bisa janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan keluar dari kamar mencari kamar mandi. Pak Hr hanya mampu terbengong mendengar jawabanku yang seenaknya itu.
“Aku tidak bisa janji!”, sahutku seenaknya sambil bangkit berdiri dan keluar dari kamar mencari kamar mandi. Pak Hr hanya mampu terbengong mendengar jawabanku yang seenaknya itu.
Aku sedang berjalan santai
meninggalkan rumah pak Hr, ini pertemuanku yang ketiga dengan laki-laki
itu demi menebus nilai ujianku yang selalu jeblok jika ujian dengan dia.
Mungkin malah sengaja dibuat jeblok biar dia bisa main denganku.
Dasar…, namun harus kuakui, dia laki-laki hebat, daya tahannya sungguh
luar biasa jika dibandingkan dengan usianya yang hapir mencapai usia
pensiun itu. Bahkan dari pagi hingga sore hari ini dia masih sanggup
menggarapku tiga kali, sekali di ruang tengah begitu aku datang, dan dua
kali di kamar tidur. Aku sempat terlelap sesudahnya beberapa jam
sebelum membersihkan diri dan pulang. Berutung kali ini, aku bisa
memaksanya menandatangani berkas ujian susulanku.
“Masih ada mata kuliah Pengantar Berorganisasi dan Kepemimpinan”, katanya sambil membubuhkan nilai A di berkas ujianku.
“Selama bapak masih bisa memberiku nilai A”, kataku pendek.
“Segeralah mendaftar, kuliah akan dimulai minggu depan!”.
“Terima kasih pak!” kataku sambil tak lupa memberikan senyum semanis mungkin.
“Selama bapak masih bisa memberiku nilai A”, kataku pendek.
“Segeralah mendaftar, kuliah akan dimulai minggu depan!”.
“Terima kasih pak!” kataku sambil tak lupa memberikan senyum semanis mungkin.
“Winda!” teriakan seseorang
mengejutkan lamunanku. Aku menoleh ke arah sumber suara tadi yang aku
perkirakan berasal dari dalam mobil yang berjalan perlahan
menghampiriku. Seseorang membuka pintu mobil itu, wajah yang sangat aku
benci muncul dari balik pintu Mitsubishi Galant keluaran tahun terakhir
itu.
“Masuklah Winda…”.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan sendiri koq!”, Aku masih mencoba menolak dengan halus.
“Ayolah, masa kau tega menolak ajakanku, padahal dengan pak Hr saja kau mau!”.
“Masuklah Winda…”.
“Tidak, terima kasih. Aku bisa jalan sendiri koq!”, Aku masih mencoba menolak dengan halus.
“Ayolah, masa kau tega menolak ajakanku, padahal dengan pak Hr saja kau mau!”.
Aku tertegun sesaat, Bagai disambar petir di siang bolong.
“Da…,Darimana kau tahu?”.
“Nah, jadi benar kan…, padahal aku tadi hanya menduga-duga!”
“Sialan!”, Aku mengumpat di dalam hati, harusnya tadi aku bersikap lebih tenang, aku memang selalu nervous kalau ketemu cowok satu ini, rasanya ingin buru-buru pergi dari hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya yang memang seram itu.
“Da…,Darimana kau tahu?”.
“Nah, jadi benar kan…, padahal aku tadi hanya menduga-duga!”
“Sialan!”, Aku mengumpat di dalam hati, harusnya tadi aku bersikap lebih tenang, aku memang selalu nervous kalau ketemu cowok satu ini, rasanya ingin buru-buru pergi dari hadapannya dan tidak ingin melihat mukanya yang memang seram itu.
Seperti tipikal orang Indonesia
bagian daerah paling timur, cowok ini hitam tinggi besar dengan postur
sedikit gemuk, janggut dan cambang yang tidak pernah dirapikan dengan
rambut keritingnya yang dipelihara panjang ditambah dengan caranya
memakai kemeja yang tidak pernah dikancingkan dengan benar sehingga
memamerkan dadanya yang penuh bulu. Dengan asesoris kalung, gelang dan
cincin emas, arloji rolex yang dihiasi berlian…, cukup menunjukkan bahwa
dia ini orang yang memang punya duit. Namun, aku menjadi muak dengan
penampilan seperti itu.
Dino memang salah satu jawara di
kampus, anak buahnya banyak dan dengan kekuatan uang serta gaya jawara
seperti itu membuat dia menjadi salah satu momok yang paling menakutkan
di lingkungan kampus. Dia itu mahasiswa lama, dan mungkin bahkan tidak
pernah lulus, namun tidak ada orang yang berani mengusik keberadaannya
di kamus, bahkan dari kalangan akademik sekalipun.
“Gimana? Masih tidak mau masuk?”, tanya dia setengah mendesak.
“Gimana? Masih tidak mau masuk?”, tanya dia setengah mendesak.
Aku tertegun sesaat, belum mau
masuk. Aku memang sangat tidak menyukai laki-laki ini, Tetapi
kelihatannya aku tidak punya pilihan lain, bisa-bisa semua orang tahu
apa yang kuperbuat dengan pak Hr, dan aku sungguh-sungguh ingin menjaga
rahasia ini, terutama terhadap Erwin, tunanganku. Namun saat ini aku
benar benar terdesak dan ingin segera membiarkan masalah ini berlalu
dariku. Makanya tanpa pikir panjang aku mengiyakan saja ajakannya.
Dino tertawa penuh kemenangan,
ia lalu berbicara dengan orang yang berada di sebelahnya supaya
berpindah ke jok belakang. Aku membanting pantatku ke kursi mobil depan,
dan pemuda itu langsung menancap gas. Sambil nyengir kuda. Kesenangan.
“Ke mana kita?”, tanyaku hambar.
“Lho? Mestinya aku yang harus tanya, kau mau ke mana?”, tanya Dino pura-pura heran.
“Sudahlah Dino, tak usah berpura-pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku sudah sedemikian pasrahnya. Aku sudah tidak mau berpikir panjang lagi untuk meminta dia menutup-nutupi perbuatanku. Orang yang duduk di belakangku tertawa.
“Rupanya dia cukup mengerti apa kemauanmu Dino!”, Dia berkomentar.
“Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang itu namanya Maki, orang dengan penampilan hampir mirip dengan Dino kecuali rambutnya yang dipotong crew-cut.
“Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku sangat merindukanmu Winda!”, pancing Dino.
“Sesukamulah…!”, Aku tahu benar memang itu yang diinginkannya.
Dino tertawa penuh kemenangan.
“Ke mana kita?”, tanyaku hambar.
“Lho? Mestinya aku yang harus tanya, kau mau ke mana?”, tanya Dino pura-pura heran.
“Sudahlah Dino, tak usah berpura-pura lagi, kau mau apa?”, Suaraku sudah sedemikian pasrahnya. Aku sudah tidak mau berpikir panjang lagi untuk meminta dia menutup-nutupi perbuatanku. Orang yang duduk di belakangku tertawa.
“Rupanya dia cukup mengerti apa kemauanmu Dino!”, Dia berkomentar.
“Ah, diam kau Maki!” Rupanya orang itu namanya Maki, orang dengan penampilan hampir mirip dengan Dino kecuali rambutnya yang dipotong crew-cut.
“Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku sangat merindukanmu Winda!”, pancing Dino.
“Sesukamulah…!”, Aku tahu benar memang itu yang diinginkannya.
Dino tertawa penuh kemenangan.
Ia melarikan mobilnya makin
kencang ke arah sebuah kompleks perumahan. Lalu mobil yang ditumpangi
mereka memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Di pekarangan
itu sudah ada 2 buah mobil lain, satu Mitsubishi Pajero dan satu lagi
Toyota Great Corolla namun keduanya kelihatan diparkir sekenanya tak
beraturan.
Interior depan rumah itu
sederhana saja. Cuma satu stel sofa, sebuah rak perabotan pecah belah.
Tak lebih. Dindingnya polos. Demikian juga tempok ruang tengah. Terasa
betapa luas dan kosongnya ruangan tengah itu, meski sebuah bar dengan
rak minuman beraneka ragam terdapat di sudut ruangan, menghadap ke taman
samping. Sebuah stereo set terpasang di ujung bar. Tampaknya baru saja
dimatikan dengan tergesa-gesa. Pitanya sebagian tergantung keluar.
Dari pintu samping kemudian
muncul empat orang pemuda dan seorang gadis, yang jelas-jelas masih
menggunakan seragam SMU. Mereka semua mengeluarkan suara setengah
berbisik. Keempat orang laki-laki itu, tiga orang sepertinya sesuku
dengan Dino atau sebangsanya, sedangkan yang satu lagi seperti bule
dengan rambutnya yang gondrong. Sementara si gadis berperawakan tinggi
langsing, berkulit putih dan rambutnya yang hitam lurus dan panjang
tergerai sampai ke pinggang, ia memakai bandana lebar di kepalanya
dengan poni tebal menutupi dahinya. Wajahnya yang oval dan bermata sipit
menandakan bahwa ia keturunan Cina atau sebangsanya. Harus kuakui dia
memang cantik, seperti bintang film drama Mandarin. Berbeda dengan
penampilan ketiga laki-laki itu, gadis ini kelihatannya bukan merupakan
gerombolan mereka, dilihat dari tampangnya yang masih lugu. Ia masih
mengenakan seragam sebuah sekolah Katolik yang langsung bisa aku kenali
karena memang khas. Namun entah mengapa dia bisa bergaul dengan
orang-orang ini.
Dino bertepuk tangan. Kemudian
memperkenalkan diriku dengan mereka. Yos, dan Bram seperti tipikal orang
sebangsa Dino, Tito berbadan tambun dan yang bule namanya Marchell,
sementara gadis SMU itu bernama Shelly. Mereka semua yang laki-laki
memandang diriku dengan mata “lapar” membuat aku tanpa sadar
menyilangkan tangan di depan dadaku, seolah-olah mereka bisa melihat
tubuhku di balik pakaian yang aku kenakan ini.
Tampak tak sabaran Dino menarik
diriku ke loteng. Langsung menuju sebuah kamar yang ada di ujung. Kamar
itu tidak berdaun pintu, sebenarnya lebih tepat disebut ruang penyangga
antara teras dengan kamar-kamar yang lain Sebab di salah satu ujungnya
merupakan pintu tembusan ke ruang lain.
Di sana ada sebuah kasur yang
terhampar begitu saja di lantai kamar. Dengan sprei yang sudah
acak-acakan. Di sudut terdapat dua buah kursi sofa besar dan sebuah meja
kaca yang mungil. Di bawahnya berserakan majalah-majalah yang cover
depannya saja bisa membuat orang merinding. Bergambar
perempuan-perempuan telanjang.
Aku sadar bahkan sangat sadar,
apa yang dimaui Dino di kamar ini. Aku beranjak ke jendela. Menutup
gordynnya hingga ruangan itu kelihatan sedikit gelap. Namun tak lama,
karena kemudian Dino menyalakan lampu. Aku berputar membelakangi Dino,
dan mulai melucuti pakaian yang aku kenakan. Dari blouse, kemudian rok
bawahanku kubiarkan meluncur bebas ke mata kakiku. Kemudian aku memutar
balik badanku berbalik menghadap Dino.
Betapa terkejutnya aku ketika
aku berbalik, ternyata di hadapanku kini tidak hanya ada Dino, namun
Maki juga sedang berdiri di situ sambil cengengesan. Dengan gerakan
reflek, aku menyambar blouseku untuk menutupi tubuhku yang setengah
telanjang. Melihat keterkejutanku, kedua laki-laki itu malah tertawa
terbahak-bahak.
“Ayolah Winda, Toh engkau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu kepada beberapa laki-laki lain?”.
“Kurang ajar kau Dino!” Aku mengumpat sekenanya.
Wajah laki-laki itu berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak menjadi serius, sangat serius. Dengan tatapan yang sangat tajam dia berujar, “Apakah engkau punya pilihan lain? Ayolah, lakukan saja dan sesudah selesai kita boleh melupakan kejadian ini.”
“Ayolah Winda, Toh engkau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu kepada beberapa laki-laki lain?”.
“Kurang ajar kau Dino!” Aku mengumpat sekenanya.
Wajah laki-laki itu berubah seketika, dari tertawa terbahak-bahak menjadi serius, sangat serius. Dengan tatapan yang sangat tajam dia berujar, “Apakah engkau punya pilihan lain? Ayolah, lakukan saja dan sesudah selesai kita boleh melupakan kejadian ini.”
Aku tertegun, melayani dua orang
sekaligus belum pernah aku lakukan sebelumnya. Apalagi orang-orang yang
bertampang seram seperti ini. Tapi seperti yang dia bilang, aku tak
punya pilihan lain. Seribu satu pertimbangan berkecamuk di kepalaku
hingga membuat aku pusing. Tubuhku tanpa sadar sampai gemetaran, terasa
sekali lututku lemas sepertinya aku sudah kehabisan tenaga karena
digilir mereka berdua, padahal mereka sama sekali belum memulainya.
Akhirnya, dengan sangat berat
aku menggerakkan kedua tangan ke arah punggungku di mana aku bisa meraih
kaitan BH yang aku pakai. Baju yang tadi aku pakai untuk menutupi
bagian tubuhku dengan sendirinya terjatuh ke lantai. Dengan sekali
sentakan halus BH-ku telah terlepas dan meluncur bebas dan sebelum
terjatuh ke lantai kulemparkan benda itu ke arah Dino yang kemudian
ditangkapnya dengan tangkas. Ia mencium bagian dalam mangkuk bra-ku
dengan penuh perasaan.
“Harum!”, katanya.
“Harum!”, katanya.
Lalu ia seperti mencari-cari sesuatu dari benda itu, dan ketika ditemukannya ia berhenti.
“36B!”, katanya pendek.
Rupanya ia pingin tahu berapa ukuran dadaku ini.
“BH-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya memberikan BH itu kepada Maki sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan menciumi benda itu. Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan payudaraku yang kini tidak tertutup apa-apa lagi.
“36B!”, katanya pendek.
Rupanya ia pingin tahu berapa ukuran dadaku ini.
“BH-nya saja sudah sedemikian harum, apalagi isinya!”, katanya seraya memberikan BH itu kepada Maki sehingga laki-laki itu juga ikut-ikutan menciumi benda itu. Namun demikian mata mereka tak pernah lepas menatap belahan payudaraku yang kini tidak tertutup apa-apa lagi.
Aku kini hanya berdiri menunggu,
dan tanpa diminta Dino melangkah mendekatiku. Ia meraih kepalaku.
Tangannya meraih kunciran rambut dan melepaskannya hingga rambutku kini
tergerai bebas sampai ke punggung.
“Nah, dengan begini kau kelihatan lebih cantik!”
“Nah, dengan begini kau kelihatan lebih cantik!”
Ia terus berjalan memutari
tubuhku dan memelukku dari belakang. Ia sibakkan rambutku dan
memindahkannya ke depan lewat pundak sebelah kiriku, sehingga bagian
punggung sampai ke tengkukku bebas tanpa penghalang. Lalu ia menjatuhkan
ciumannya ke tengkuk belakangku. Lidahnya menjelajah di sekitar leher,
tengkuk kemudian naik ke kuping dan menggelitik di sana. Kedua belah
tangannya yang kekar dan berbulu yang tadi memeluk pinggangku kini mulai
merayap naik dan mulai meremas-remas kedua belah payudaraku dengan
gemas. Aku masih menanggapinya dengan dingin dengan tidak bereaksi sama
sekali selain memejamkan mataku.
Dino rupanya tidak begitu suka
aku bersikap pasif, dengan kasar ia menarik wajahku hingga bibirnya bisa
melumat bibirku. Aku hanya berdiam diri saja tak memberikan reaksi.
Sambil melumat, lidahnya mencari-cari dan berusaha masuk ke dalam
mulutku, dan ketika berhasil lidahnya bergerak bebas menjilati lidahku
hingga secara tak sengaja lidahkupun meronta-ronta.
Sambil memejamkan mata aku
mencoba untuk menikmati perasaan itu dengan utuh. Tak ada gunanya aku
menolak, hal itu akan membuatku lebih menderita lagi. Dengan kuluman
lidah seperti itu, ditingkahi dengan remasan-remasan telapak tangannya
di payudaraku sambil sekali-sekali ibu jari dan telunjuknya
memilin-milin puting susuku, pertahananku akhirnya bobol juga. Memang,
aku sudah sangat terbiasa dan sangat terbuai dengan permaian seperti ini
hingga dengan mudahnya Dino mulai membangkitkan nafsuku. Bahkan kini
aku mulai memberanikan menggerakkan tangan meremas kepala Dino yang
berada di belakangku. Sementara dengan ekor mataku aku melihat Maki
beranjak berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sambil pandangan
matanya tidak pernah lepas dari kami berdua.
Mungkin karena merasa sudah
menguasai diriku, ciuman Dino terus merambat turun ke leherku,
menghisapnya hingga aku menggelinjang. Lalu merosot lagi menelusup di
balik ketiak dan merayap ke depan sampai akhirnya hinggap di salah satu
pucuk bukit di dadaku, Dengan satu remasan yang gemas hingga membuat
puting susuku melejit Dino untuk mengulumnya. Pertama lidahnya tepat
menyapu pentilnya, lalu bergerak memutari seluruh daerah puting susuku
sebelum mulutnya mengenyot habis puting susuku itu. Ia menghisapnya
dengan gemas sampai pipinya kempot.
Tubuhku secara tiba-tiba
bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit
nyeri di bagian itu. Aku menggelinjang, melenguh apalagi ketika puting
susuku digigit-gigit perlahan oleh Dino. Buah anggur yang ranum itu
dipermainkan pula dengan lidah Dino yang kasap. Dipilin-pilinnya kesana
kemari. Dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai putingnya menempel
pada telaknya. Aku merintih. Tanganku refleks meremas dan menarik
kepalanya sehingga semakin membenam di kedua gunung kembarku yang putih
dan padat. Aku sungguh tak tahu mengapa harus begitu pasrah kepada
lelaki itu. Mengapa aku justeru tenggelam dalam permaianan itu? Semula
aku hanya merasa terpaksa demi menutupi rahasia atas perbuatanku. Tapi
kemudian nyatanya, permainan yang Dino mainkan begitu dalam. Dan aneh
sekali, Tanpa sadar aku mulai mengikuti permainan yang dipimpin dengan
cemerlang oleh Dino.
“Winda…”, “Ya?”, “Kau suka aku perlakukan seperti ini?”. Aku hanya mengangguk. Dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan. Aku menggeliat, merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya sebentar saja sudah berubah membengkak, keras dan mencuat semakin runcing.
“Winda…”, “Ya?”, “Kau suka aku perlakukan seperti ini?”. Aku hanya mengangguk. Dan memejamkan matanya. membiarkan payudaraku terus diremas-remas dan puting susunya dipilin perlahan. Aku menggeliat, merasakan nikmat yang luar biasa. Puting susu yang mungil itu hanya sebentar saja sudah berubah membengkak, keras dan mencuat semakin runcing.
“Hsss…, ah!”, Aku mendesah saat
merasakan jari-jari tangan lelaki itu mulai menyusup ke balik celana
dalamku dan merayap mencari liang yang ada di selangkanganku. Dan ketika
menemukannya Jari-jari tangan itu mula-mula mengusap-usap permukaannya,
terus mengusap-usap dan ketika sudah terasa basah jarinya mulai merayap
masuk untuk kemudian menyentuh dinding-dinding dalam liang itu.
Dalam posisi masih berdiri
berhadapan, sambil terus mencumbui payudaraku, Dino meneruskan aksinya
di dalam liang gelap yang sudah basah itu. Makin lama makin dalam. Aku
sendiri semakin menggelinjang tak karuan, kedua buah jari yang ada di
dalam liang vaginaku itu bergerak-gerak dengan liar. Bahkan
kadang-kadang mencoba merenggangkan liang vaginaku hingga menganga. Dan
yang membuat aku tambah gila, ia menggerak-gerakkan jarinya keluar masuk
ke dalam liang vaginaku seolah-olah sedang menyetubuhiku. Aku tak kuasa
untuk menahan diri.
“Nggghh…!”, mulutku mulai
meracau. Aku sungguh kewalahan dibuatnya hingga lututku terasa lemas
hingga akhirnya akupun tak kuasa menahan tubuhku hingga merosot
bersimpuh di lantai. Aku mencoba untuk mengatur nafasku yang
terengah-engah. Aku sungguh tidak memperhatikan lagi yang kutahu kini
tiba-tiba saja Dino telah berdiri telanjang bulat di hadapanku. Tubuhnya
yang tinggi besar, hitam dan penuh bulu itu dengan angkuhnya berdiri
mengangkang persis di depanku sehingga wajahku persis menghadap ke
bagian selangkangannya. Disitu, aku melihat batang kejantanannya telah
berdiri dengan tegaknya. Besar panjang kehitaman dengan bulu hitam yang
lebat di daerah pangkalnya.
Dengan sekali rengkuh, ia meraih
kepalaku untuk ditarik mendekati daerah di bawah perutnya itu. Aku tahu
apa yang dimauinya, bahkan sangat tahu ini adalah perbuatan yang sangat
disukai para lelaki. Di mana ketika aku melakukan oral seks terhadap
kelaminnya.
Maka, dengan kepalang basah,
kulakukan apa yang harus kulakukan. Benda itu telah masuk ke dalam
mulutku dan menjadi permainan lidahku yang berputar mengitari ujung
kepalanya yang bagaikan sebuah topi baja itu. Lalu berhenti ketika
menemukan lubang yang berada persis di ujungnya. Lalu dengan segala
kemampuanku aku mulai mengelomoh batang itu sambil kadang-kadang
menghisapnya kuat-kuat sehingga pemiliknya bergetar hebat menahan rasa
yang tak tertahankan.
Pada saat itu aku sempat melirik
ke arah sofa di mana Maki berada, dan ternyata laki-laki ini sudah
mulai terbawa nafsu menyaksikan perbuatan kami berdua. Buktinya, ia
telah mengeluarkan batang kejantanannya dan mengocoknya naik turun
sambil berkali-kali menelan ludah. Konsentrasiku buyar ketika Dino
menarik kepalaku hingga menjauh dari selangkangannya. Ia lalu menarik
tubuhku hingga telentang di atas kasur yang terhampar di situ. Lalu
dengan cepat ia melucuti celana dalamku dan dibuangnya jauh-jauh
seakan-akan ia takut aku akan memakainya kembali.
Untuk beberapa detik mata Dino
nanar memandang bagian bawah tubuhku yang sudah tak tertutup apa-apa
lagi. Si Makipun sampai berdiri mendekat ke arah kami berdua seakan ia
tidak puas memandang kami dari kejauhan.
Namun beberapa detik kemudian,
Dino mulai merenggangkan kedua belah pahaku lebar-lebar. Paha kiriku
diangkatnya dan disangkutkan ke pundaknya. Lalu dengan tangannya yang
sebelah lagi memegangi batang kejantanannya dan diusap-usapkan ke
permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat basah. Ada rasa geli
menyerang di situ hingga aku menggelinjang dan memejamkan mata.
Sedetik kemudian, aku merasakan
ada benda lonjong yang mulai menyeruak ke dalam liang vaginaku. Aku
menahan nafas ketika terasa ada benda asing mulai menyeruak di situ.
Seperti biasanya, aku tak kuasa untuk menahan jeritanku pada saat
pertama kali ada kejantanan laki-laki menyeruak masuk ke dalam liang
vaginaku.
Dengan perlahan namun pasti,
kejantanan Dino meluncur masuk semakin dalam. Dan ketika sudah masuk
setengahnya ia bahkan memasukkan sisanya dengan satu sentakan kasar
hingga aku benar-benar berteriak karena terasa nyeri. Dan setelah itu,
tanpa memberiku kesempatan untuk membiasakan diri dulu, Dino sudah
bergoyang mencari kepuasannya sendiri.
Dino menggerak-gerakkan
pinggulnya dengan kencang dan kasar menghunjam-hunjam ke dalam tubuhku
hingga aku memekik keras setiap kali kejantanan Dino menyentak ke dalam.
Pedih dan ngilu. Namun bercampur nikmat yang tak terkira. Ada sensasi
aneh yang baru pertama kali kurasakan di mana di sela-sela rasa ngilu
itu aku juga merasakan rasa nikmat yang tak terkira. Namun aku juga
tidak bisa menguasai diriku lagi hingga aku sampai menangis
menggebu-gebu, sakit keluhku setiap kali Dino menghunjam, tapi aku
semakin mempererat pelukanku, Pedih, tapi aku juga tak bersedia Dino
menyudahi perlakuannya terhadap diriku.
Aku semakin merintih. Air mataku
meleleh keluar. kami terus bergulat dalam posisi demikian. Sampai
tiba-tiba ada rasa nikmat yang luar biasa di sekujur tubuhku. Aku telah
orgasme. Ya, orgasme bersama dengan orang yang aku benci. Tubuhku
mengejang selama beberapa puluh detik. Sebelum melemas. Namun Dino
rupanya belum selesai. Ia kini membalikkan tubuhku hingga kini aku
bertumpu pada kedua telapak tangan dan kedua lututku. Ia ingin
meneruskannya dengan doggy style. Aku hanya pasrah saja.
Kini ia menyetubuhiku dari
belakang. Tangannya kini dengan leluasa berpindah-pindah dari pinggang,
meremas pantat dan meremas payudaraku yang menggelantung berat ke bawah.
Kini Dino bahkan lebih memperhebat serangannya. Ia bisa dengan leluasa
menggoyangkan tubuhnya dengan cepat dan semakin kasar.
Pada saat itu tanpa terasa, Maki
telah duduk mengangkang di depanku. Laki-laki ini juga telah telanjang
bulat. Ia menyodorkan batang penisnya ke dalam mulutku, tangannya meraih
kepalaku dan dengan setengah memaksa ia menjejalkan batang
kejantanannya itu ke dalam mulutku.
Kini aku melayani dua orang
sekaligus. Dino yang sedang menyetubuhiku dari belakang. Dan Maki yang
sedang memaksaku melakukan oral seks terhadap dirinya. Dino
kadang-kadang malah menyorongkan kepalanya ke depan untuk menikmati
payudaraku. Aku mengerang pelan setiap kali ia menghisap puting susuku.
Dengan dua orang yang mengeroyokku aku sungguh kewalahan hingga tidak
bisa berbuat apa-apa. Malahan aku merasa sangat terangsang dengan posisi
seperti ini.
Mereka menyetubuhiku dari dua
arah, yang satu akan menyebabkan penis pada tubuh mereka yang berada di
arah lainnya semakin menghunjam. Kadang-kadang aku hampir tersedak. Maki
yang tampaknya mengerti kesulitanku mengalah dan hanya diam saja. Dino
yang mengatur segala gerakan.
Perlahan-lahan kenikmatan yang
tidak terlukiskan menjalar di sekujur tubuhku. Perasaan tidak berdaya
saat bermain seks ternyata mengakibatkan diriku melambung di luar batas
yang pernah kuperkirakan sebelumnya. Dan kembali tubuhku mengejang,
deras dan tanpa henti. Aku mengalami orgasme yang datang dengan beruntun
seperti tak berkesudahan.
Tidak lama kemudian Dino
mengalami orgasme. Batang penisnya menyemprotkan air mani dengan deras
ke dalam liang vaginaku. Benda itu menyentak-nyentak dengan hebat,
seolah-olah ingin menjebol dinding vaginaku. Aku bisa merasakan air mani
yang disemprotkannya banyak sekali, hingga sebagian meluap keluar
meleleh di salah satu pahaku. Sesudah itu mereka berganti tempat. Maki
mengambil alih perlakuan Dino. Masih dalam posisi doggy style. Batang
kejantanannya dengan mulus meluncur masuk dalam sekali sampai menyentuh
bibir rahimku. Ia bisa mudah melakukannya karena memang liang vaginaku
sudah sangat licin dilumasi cairan yang keluar dari dalamnya dan sudah
bercampur dengan air mani Dino yang sangat banyak. Permainan
dilanjutkan. Aku kini tinggal melayani Maki seorang, karena Dino dengan
nafas yang tersengal-sengal telah duduk telentang di atas sofa yang tadi
diduduki Maki untuk mengumpulkan tenaga. Aku mengeluh pendek setiap
kali Maki mendorong masuk miliknya. Maki terus memacu gerakkannya.
Semakin lama semakin keras dan kasar hingga membuat aku merintih dan
mengaduh tak berkesudahan.
Pada saat itu masuk Bram dan
Tito bersamaan ke dalam ruangan. Tanpa basa-basi, mereka pun langsung
melucuti pakaiannya hingga telanjang bulat. Lalu mereka duduk di lantai
dan menonton adegan mesum yang sedang terjadi antara aku dan Maki. Bram
nampak kelihatan tidak sabaran Tetapi aku sudah tidak peduli lagi. Maki
terus memacu menggebu-gebu. Laki-laki itu sibuk memacu sambil meremasi
payudaraku yang menggelantung berat ke bawah.
Sesaat kemudian tubuhku
dibalikkan kembali telentang di atas kasur dan pada saat itu Bram dengan
tangkas menyodorkan batang kejantanannya ke dalam mulutku. Aku sudah
setengah sadar ketika Tito menggantikan Maki menggeluti tubuhku.
Keadaanku sudah sedemikian acak-acakan. Rambut yang kusut masai. Tubuhku
sudah bersimpah peluh. Tidak hanya keringat yang keluar dari tubuhku
sendiri, tapi juga cucuran keringat dari para laki-laki yang bergantian
menggauliku. Aku kini hanya telentang pasrah ditindihi tubuh gemuk Tito
yang bergoyang-goyang di atasnya.
Laki-laki gemuk itu
mengangkangkan kedua belah pahaku lebar-lebar sambil terus
menghunjam-hunjamkan miliknya ke dalam milikku. Sementara Bram tak
pernah memberiku kesempatan yang cukup untuk bernafas. Ia terus saja
menjejal-jejalkan miliknya ke dalam mulutku. Aku sendiri sudah tidak
bisa mengotrol diriku lagi. Guncangan demi guncangan yang diakibatkan
oleh gerakan Titolah yang membuat Bram makin terangsang. Bukan lagi
kuluman dan jilatan yang harusnya aku lakukan dengan lidah dan mulutku.
Dan ketika Tito melenguh
panjang, ia mencapai orgasmenya dengan meremas kedua belah payudaraku
kuat-kuat hingga aku berteriak mengaduh kesakitan. Lalu beberapa saat
kemudian ia dengan nafasnya yang tersengal-sengal memisahkan diri dari
diriku. Dan pada saat hampir bersamaan Bram juga mengerang keras. Batang
kejantanannya yang masih berada di dalam mulutku bergerak liar dan
menyemprotkan air maninya yang kental dan hangat. Aku meronta, ingin
mengeluarkan banda itu dari dalam mulutku, namun tangan Bram yang kokoh
tetap menahan kepalaku dan aku tak kuasa meronta lagi karena memang
tenagaku sudah hampir habis. Cairan kental yang hangat itu akhirnya
tertelan olehku. Banyak sekali. Bahkan sampai meluap keluar membasahi
daerah sekitar bibirku sampai meleleh ke leher. Aku tak bisa berbuat
apa-apa, selain dengan cepat mencoba menelan semua yang ada supaya tidak
terlalu terasa di dalam mulutku. Aku memejamkan mata erat-erat, tubuhku
mengejang melampiaskan rasa yang tidak karuan, geli, jijik, namun ada
sensasi aneh yang luar biasa juga di dalam diriku. Sungguh sangat erotis
merasakan siksa birahi semacam ini hingga akupun akhirnya orgasme
panjang untuk ke sekian kalinya.
Dengan ekor mataku aku kembali
melihat seseorang masuk ke ruangan yang ternyata si bule dan orang itu
juga mulai membuka celananya. Aku menggigit bibir, dan mulai menangis
terisak-isak. Aku hanya bisa memejamkan mata ketika Marchell mulai
menindihi tubuhku. Pasrah.
Tidak lama kemudian setelah
orang terakhir melaksanakan hasratnya pada diriku mereka keluar. aku
merasa seluruh tubuhku luluh lantak. Setelah berhasil mengumpulkan cukup
tenaga kembali, dengan terhuyung-huyung, aku bangkit dari tempat tidur,
mengenakan pakaianku seadanya dan pergi mencari kamar mandi.
Aku berpapasan dengan Dino yang
muncul dari dalam sebuah ruangan yang pintunya terbuka. Lelaki itu
sedang sibuk mengancingkan retsluiting celananya. Masih sempat terlihat
dari luar di dalam kamar itu, di atas tempat tidur tubuh Shelly yang
telanjang sedang ditindihi oleh tubuh Maki yang bergerak-gerak cepat.
Memacu naik turun. Gadis itu menggelinjang-gelinjang setiap kali Maki
bergerak naik turun. Rupanya anak itu bernasib sama seperti diriku.
“Di mana aku bisa menemukan kamar mandi?” tanyaku pada Dino.
Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Tanpa basa-basi lagi aku segera beranjak menuju pintu itu.
“Di mana aku bisa menemukan kamar mandi?” tanyaku pada Dino.
Tanpa menjawab, ia hanya menunjukkan tangannya ke sebuah pintu. Tanpa basa-basi lagi aku segera beranjak menuju pintu itu.
Di sana aku mandi berendam air
panas sambil mengangis. Aku tidak tahu saya sudah terjerumus ke dalam
apa kini. Yang membuat aku benci kepada diriku sendiri, walaupun aku
merasa sedih, kesal, marah bercampur menjadi satu, namun demikian setiap
kali teringat kejadian barusan, langsung saja selangkanganku basah
lagi.
Aku berendam di sana sangat
lama, mungkin lebih dari satu jam lamanya. Setelah terasa kepenatan
tubuhku agak berkurang aku menyudahi mandiku. Dengan berjalan
tertatih-tatih aku melangkah keluar kamar mandi dan berjalan mencari
pintu keluar. Sudah hampir jam sebelas malam ketika aku keluar dari
rumah itu.
Sampai di dalam rumah, Aku
langsung ngeloyor masuk ke kamar. Aku tak peduli dengan kakakku yang
terheran-heran melihat tingkah lakuku yang tidak biasa, aku tak
menyapanya karena memang sudah tidak ada keinginan untuk berbicara lagi
malam ini. Aku tumpahkan segala perasaan campur aduk itu, kekesalan, dan
sakit hati dengan menangis.